PELANGGARAN
HAM BERAT YANG TERJADI DI INDONESIA
1.
Tragedi
Trisakti
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada12 Mei
1998, terhadap mahasiswapada saat demonstrasi menuntutSoeharto turun dari
jabatannya.Kejadian ini menewaskan empatmahasiswa Universitas Trisakti
diJakarta, Indonesia serta puluhanlainnya luka.Mereka yang tewas adalah
ElangMulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka
tewastertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital
sepertikepala, leher, dan dada.Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998,
yang terpengaruh oleh krisisfinansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi
demonstrasi besar-besaran kegedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas
Trisakti.Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR
padapukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri--militer
datangkemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak
Polri.Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti
bergerakmajunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru
kearah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian
besarberlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus
melakukanpenembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber
Waras.Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade
MobilKepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri
PertahananUdara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam
setaPasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer,
danSS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak
dansatu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan
membantahtelah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian
disebabkan peluru tajam.
Contoh
Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah sebuah badan hukum internasional, begitupun pula di Indonesia. HAM
merupakan hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia di dalam kandungan. Di
Indonesia, terdapat berbagai pelanggaran HAM, entah itu pelanggaran HAM yang
bersifat berat maupun ringan. Contohnya adalah kasus pelanggaran HAM tentang
pembunuhan aktifis Hak Asasi Manusia yaitu Munir Said Thalib atau orang sering
dikenal dengan Munir. Masih ada lagi contoh kasus-kasus pelanggaran HAM di
Indonesia, bahkan sebagian sudah diajukan ke Sidang Peradilan, bahkan Amnesty
Internasional. Berikut ini daftar kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia:
1. Kasus Pembunuhan
Munir
Munir Said Thalib bukan
sembarang orang, dia adalah aktifis HAM yang pernah menangani kasus-kasus
pelanggaran HAM. Munir lahir di Malang, 8 Desember 1965. Munir pernah menangani
kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti kasus pembunuhan Marsinah, kasus Timor-Timur
dan masih banyak lagi. Munir meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam
pesawat Garuda Indonesia ketika ia sedang melakukan perjalanan menuju
Amsterdam, Belanda. Spekulasi mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan
bahwa Munir meninggal di pesawat karena dibunuh, serangan jantung bahkan
diracuni. Namun, sebagian orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracuni
dengan Arsenikum di makanan atau minumannya saat di dalam pesawat. Kasus ini
sampai sekarang masih belum ada titik jelas, bahkan kasus ini telah diajukan ke
Amnesty Internasional dan tengah diproses. Pada tahun 2005, Pollycarpus
Budihari Priyanto selaku Pilot Garuda Indonesia dijatuhi hukuman 14 tahun
penjara karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus pembunuhan Munir,
karena dengan sengaja ia menaruh Arsenik di makanan Munir.
2. Pembunuhan Aktivis
Buruh Wanita, Marsinah
Marsinah merupakan
salah satu buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya (CPS) yang terletak di
Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah muncul ketika Marsinah bersama dengan
teman-teman sesama buruh dari PT. CPS menggelar unjuk rasa, mereka menuntut
untuk menaikkan upah buruh pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Dia aktif dalam aksi
unjuk rasa buruh. Masalah memuncak ketika Marsinah menghilang dan tidak diketahui
oleh rekannya, dan sampai akhirnya pada tanggal 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan
meninggal dunia. Mayatnya ditemukan di sebuah hutan di Dusun Jegong, Kecamatan
Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Menurut hasil otopsi, diketahui bahwa Marsinah meninggal karena penganiayaan
berat.
3. Penculikan Aktivis
1997/1998
Salah satu kasus
pelanggaran HAM di Indonesia yaitu kasus penculikan aktivis 1997/1998. Kasus
penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis pro-demokrasi, sekitar 23
aktivis pro-demokrasi diculik. Peristiwa ini terjadi menjelang pelaksanaan
PEMILU 1997 dan Sidang Umum MPR 1998. Kebanyakan aktivis yang diculik disiksa
dan menghilang, meskipun ada satu yang terbunuh. 9 aktivis dilepaskan dan 13
aktivis lainnya masih belum diketahui keberadaannya sampai kini. Banyak orang
berpendapat bahwa mereka diculik dan disiksa oleh para anggota Kopassus. Kasus
ini pernah ditangani oleh komisi HAM.
4. Penembakan Mahasiswa
Trisakti
Kasus penembakan
mahasiswa Trisakti merupakan salah satu kasus penembakan kepada para mahasiswa
Trisakti yang sedang berdemonstrasi oleh para anggota polisi dan militer.
Bermula ketika mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti sedang melakukan
demonstrasi setelah Indonesia mengalami Krisis Finansial Asia pada tahun 1997
menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Peristiwa ini dikenal dengan
Tragedi Trisakti. Dikabarkan puluhan mahasiswa mengalami luka-luka, dan
sebagian meninggal dunia, yang kebanyakan meninggal karena ditembak peluru tajam
oleh anggota polisi dan militer/TNI. Kasus ini masuk dalam daftar catatan kasus
pelanggaran HAM di Indonesia, dan pernah diproses.
5. Pembantaian Santa
Cruz/Insiden Dili
Kasus ini masuk dalam
catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian yang dilakukan
oleh militer atau anggota TNI dengan menembak warga sipil di Pemakaman Santa
Cruz, Dili, Timor-Timur pada tanggal 12 November 1991. Kebanyakan warga sipil
yang sedang menghadiri pemakaman rekannya di Pemakaman Santa Cruz ditembak oleh
anggota militer Indonesia. Puluhan demonstran yang kebanyakkan mahasiswa dan
warga sipil mengalami luka-luka dan bahkan ada yang meninggal. Banyak orang
menilai bahwa kasus ini murni pembunuhan yang dilakukan oleh anggota TNI dengan
melakukan agresi ke Dili, dan merupakan aksi untuk menyatakan Timor-Timur ingin
keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membentuk negara
sendiri.
6. Peristiwa Tanjung
Priok
Kasus ini murni
pelanggaran HAM. Bermula ketika warga sekitar Tanjung Priok, Jakarta Utara
melakukan demonstrasi beserta kerusuhan yang mengakibatkan bentrok antara warga
dengan kepolisian dan anggota TNI yang mengakibatkan sebagian warga tewas dan
luka-luka. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 September 1984. Sejumblah
orang yang terlibat dalam kerusuhan diadili dengan tuduhan melakukan tindakan
subversif, begitu pula dengan aparat militer, mereka diadili atas tuduhan
melakukan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut. Peristiwa ini
dilatar belakangi masa Orde Baru.
7. Pembantaiaan
Rawagede
Peristiwa ini merupakan
pelanggaran HAM berupa penembakan beserta pembunuhan terhadap penduduk kampung
Rawagede (sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat) oleh
tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 diringi dengan dilakukannya Agresi
Militer Belanda I. Puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang
kebanyakan dibunuh tanpa alasan yang jelas. Pada 14 September 2011, Pengadilan
Den Haag menyatakan bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung
jawab. Pemerintah Belanda harus membayar ganti rugi kepada para keluarga korban
pembantaian Rawagede.
8. Peristiwa 27 Juli
Peristiwa ini
disebabkan oleh para pendukung Megawati Soekarno Putri yang menyerbu dan mengambil
alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996. Massa mulai
melempari dengan batu dan bentrok, ditambah lagi kepolisian dan anggota TNI dan
ABRI datang berserta Pansernya. Kerusuhan meluas sampai ke jalan-jalan, massa
mulai merusak bangunan dan rambu-rambu lalu-lintas. Dikabarkan 5 orang
meninggal dunia, puluhan orang (sipil maupun aparat) mengalami luka-luka dan
sebagian ditahan. Menurut Komnas Hak Asasi Manusia, dalam peristiwa ini
terbukti terjadi pelanggaran HAM.
9. Kerusuhan Timor-Timur
Pasca Jejak Pendapat
Kerusuhan ini terjadi
pada tahun 1999. Dilatar belakangi oleh Agresi Militer dan puluhan warga sipil
meninggal dan sebagian luka-luka.
10. Pembantaian Massal
Komunis 1965
Pembantaian ini
merupakan peristiwa pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang yang dituduh
sebagai anggota komunis di Indonesia yang pada saat itu Partai Komunis
Indonesia (PKI) menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia dengan
anggotanya yang berjumblah jutaan. Pihak militer mulai melakukan operasi dengan
menangkap anggota komunis, menyiksa dan membunuh mereka. Sebagian banyak orang
berpendapat bahwa Soeharto diduga kuat menjadi dalang dibalik pembantaian 1965
ini. Dikabarkan sekitar satu juta setengah anggota komunis meninggal dan
sebagian menghilang. Ini jelas murni terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.
11. Kasus Dukun Santet
di Banyuwangi
Peristiwa beserta
pembunuhan ini terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di Banyuwangi lagi
hangat-hangatnya terjadi praktek dukun santet di desa-desa mereka. Warga
sekitar yang berjumblah banyak mulai melakukan kerusuhan berupa penangkapan dan
pembunuhan terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sejumblah orang
yang dituduh dukun santet dibunuh, ada yang dipancung, dibacok bahkan dibakar
hidup-hidup. Tentu saja polisi bersama anggota TNI dan ABRI tidak tinggal diam,
mereka menyelamatkan orang yang dituduh dukun santet yang masih selamat dari
amukan warga.
12. Kasus Bulukumba
Kasus Bulukumba
merupakan kasus yang terjadi pada tahun 2003. Dilatar belakangi PT. London
Sumatra (Lonsum) melakukan perluasan area perkebunan, namun upaya ini ditolak
oleh warga sekitar.
13. Peristiwa Abepura, Papua
Peristiwa ini terjadi
di Abepura, Papua pada tahun 2003. Terjadi akibat penyisiran yang membabi buta
terhadap pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Komnas HAM menyimpulkan
bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di peristiwa Albepura.
14. Kasus-kasus di
Papua
Pada tahun 1966,
kasus-kasus di Papua telah memakan ribuan korban jiwa. Peristiwa ini terjadi
akibat Operasi instensif yang dilakukan TNI untuk menghadapi Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Sebagian lagi berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya
alam antar perusahaan tambang internasional, aparat pemerintah menghadapi warga
sipil.
15. Kasus Timor-Timur
Pasca Referendum
Perisiwa yang terjadi
pada tahun 1974-1999 memakan ratusan ribu korban jiwa. Peristiwa yang dimulai
dari Agresi Militer TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintahan Fretelin yang
sah di Timor-Timur. Sejak saat itu Timor-Timur selalu menjadi daerah operasi
militer rutin yang rawan terhadap tindak kekerasan kekerasan aparat RI.
16. Kasus-kasus di Aceh
pra DOM
Terjadi pada tahun
1976-1989, memakan banyak ribuan korban jiwa. Peristiwa yang terjadi semenjak
dideklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi
daerah operasi militer dengan itensitas kekerasan yang tinggi.
17. Penembakan
Misterius (Petrus)
Diantara tahun
1982-1985, peristiwa ini mulai terjadi. Petrus adalah sebuah peristiwa
penculikan, penganiayaan dan penembakan terhadap para preman yang sering
menganggu ketertiban masyarakat. Pelakunya tidak diketahui siapa, namun
kemungkinan pelakunya adalah aparat kepolisian yang menyamar (tidak memakai
seragam). Kasus ini termasuk pelanggaran HAM, karena banyaknya korban Petrus
yang meninggal karena ditembak. Kebanyakan korban Petrus ditemukan meninggal
dengan keadaan tangan dan lehernya diikat dan dibuang di kebun, hutan dan
lain-lain. Terhitung, ratusan orang yang menjadi korban Petrus, kebanyakan
tewas karena ditembak. Banyak orang berpendapat bahwa Soeharto menjadi dalang
utama dalam peristiwa Penembakan Misterius ini.
Kasus Semanggi II yang Tak Perna diSelesaikan Oleh Pemerintah
Tanggal 24 September 2012 adalah tepat 13 tahun terjadinya Tragedi Semanggi II yang menewaskan seorang mahasiswa dan 11 orang lain serta menyebabkan 217 korban luka-luka.Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menilai selama delapan tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum ada langkah yang konstruktif yang dilakukan Presiden untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, diantaranya kasus Semanggi II.
Presiden Yudhoyono, menurut Haris, harus segera mendorong Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan demi kepastian hukum dan keadilan bagi korban.
Kondisi tersebut lanjut Haris merupakan sebuah fenomena yang janggal dan ironis dalam proses penegakan hukum dimana 10 tahun berkas hasil penyelidikan diendapkan tanpa adanya kepastian sehingga akses korban untuk mendapatkan keadilan menjadi semakin kabur.
“Jaksa Agung dan Presiden memiliki tanggung jawab konstitusional, tanggung jawab hukum terhadap kasus ini. Ini bukan sekedar persoalan politis yang mencari solusinya dengan cara politis. Kewajiban hukum sangat ada dan jelas didalam aturan hukum yang ada di Indonesia,” ujar Haris pada jumpa pers di kantor KontraS di Jakarta, Minggu (23/9).
Di tempat yang sama, sejumlah mahasiswa dari berbagai Universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, Universitas YAI, dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menilai pemerintahan Yudhoyono enggan menyelesaikan kasus semanggi II.
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Billy Aryo Nugroho menjelaskan pemerintah harus berani menindak siapapun yang terlibat dalam kasus ini.
“Pemerintah, Presiden dan juga DPR untuk bersikap netral untuk menempatkan semua orang setara dihadapan hukum agar ketidakadilan ini dapat diluruskan, dapat diusut tuntas. Tidak ada lagi yang jadi korban dan tidak ada lagi preseden buruk untuk masa depan negara kita ke depannya,” ujar Billy.
Ho Kim Ngo, ibu dari Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas dalam peristiwa Semanggi II, berharap Kejaksaan Agung konsisten akan meneruskan pengungkapan kasus ini. Ia menambahkan Presiden Yudhoyono harus menepati janjinya kepada keluarga korban, bahwa akan menyelesaikan kasus ini seperti dalam pertemuan 2008 lalu di Istana.
“Sekarang ini, hari ini juga aku mohon kepada presiden, bukalah mata dan telinganya, dengarlah ucapan korban hari ini bagaimana untuk menyelesaikan kasus anak-anak kami,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Togarisman menyatakan banyaknya hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM yang tidak ditindaklanjuti Kejaksaan Agung disebabkan belum adanya pengadilan HAM Ad.hoc.
“Peristiwa yang terjadi sebelum 2000, jadi masalah juga berarti kan untuk memroses itu nanti pengadilan Ad hoc untuk itu,” ujar Adi.
Kasus Semanggi II terjadi pada 24-28 September 1999, saat maraknya aksi-aksi mahasiswa menentang Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI.
Penyelesaian HAM di Papua membutuhkan Pengakuan Negara
Sebagai dasar rekomendasi untuk menjawab pertanyaan diatas maka bukan hanya melalui konsep, pemahaman dan mekanisme yang baik, tetapi perlu di sadari juga bahwa ada klasifikasi persoalan yang perlu di pahami dan di selesaikan secara menyeluruh terhadap pelaksana mekanisme HAM secara lokal dan Nasional, sehingga dapat dipastikan bahwa sesungguhnya dimanakah posisi keberpihakan HAM itu berada, apakah keberpihakan HAM pada Negara atau Rakyat dalam menjalankan visi kebenaran dan keadilan.
Pertanggung jawaban Advokasi dan reporting bukanlah kehendak individu tetapi adalah kewenangan lembaga pada jalur mekanisme yang tepat dan mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Persoalan HAM di Papua mempunyai kondisi yang beda dengan daerah lain di Indonesia karena ada klasifikasi kesulitan yang nyambung dari pusat, lokal bahkan sampai pada pelaksana theknis di lapangan. kesulitan-kesulitan ini dapat di lihat sebagai berikut :
1. Kesulitan secara nasional dapat dilihat bahwa Instrumen/Institusi Negara dalam kebijakan sampai pada pelaksanaan pembangunan, keberpihakannya ada pada Negara bukan kepada Rakyat. Hal ini dapat mempengaruhi kebijakan akhir untuk membuat suatu keputusan dalam kaitannya dengan membela rakyat atau Negara, (ini persoalan pengakuan Negara).
2. Kesulitan yang dilihat pada tingkat lokal adalah bahwa adanya Tuntutan kemerdekaan oleh rakyat Papua (sampai pada tingkat ini apakah tuntutan ini merupakan suatu hak asasi manusia?) pada bagian ini juga perlu kita menentukan posisi kita sebagai relawan HAM dalam melakukan visi kebenaran dan keadilan. Persoalan lain yang muncul pada tingkat lokal ialah tidak ada kebersamaan/persatuan lembaga-lembaga HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM Papua, sehingga yang terjadi adalah masing-masing bekerja diluar mekanisme HAM karena ketidak percayaan terhadap Pusat (jakarta) bahkan kepada masing-masing lembaga HAM di Papua untuk itu dalam pelaporan HAM dilakukan pada masing-masing jaringan yang telah dibangun baik nasional maupun internasional tanpa memperhitungkan mekanisme yang ada.
3. Kesulitan yang dirasakan secara theknis dilapangan adalah ancaman penguasa terhadap para relawan HAM
Dalam kaitannya dengan penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, sebagai relawan dan pekerja HAM kita patut mengambil posisi netral untuk menyampaikan visi kebenaran dan keadilan karena ini adalah persoalan pengakuan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diakui oleh pelaku pelanggar HAM.
Percepat
Pembayaran Ganti Rugi Korban Lapindo
"Lapindo itu membayar kurang lebih Rp 2 miliar sehari. Kira-kira selesai 20 hari. Tapi karena dianggap sudah mau lebaran, maka penting untuk diselesaikan. Presiden pun meminta itu lebih dipercepat lagi," ucap Jusuf Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (28/11).
Menurut Kalla, pembayaran ganti rugi 20 persen yang senilai Rp 60 miliar ini telah berjalan dua minggu yang lalu. "Sejak dua minggu lalu, Lapindo sudah diminta untuk menyelesaikannya," ujarnya.
Komitmen Bakrie untuk mempercepat pembayaran ganti rugi muncul setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto memaksa CEO Lapindo Brantas Inc Nirwan Bakrie untuk memenuhi pembayaran 20 persen di Desa Renokenongo, Sidoarjo, Jawa Timur.
Desakan pemerintah ini mendapat respon apik dari pihak Bakrie. Nirwan berjanji membayar ganti rugi untuk warga Reno Kenongo hingga 1 Desember 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar